Ketika Cinta Harus Usai

Bagian Dua Suatu siang di hari Ahad, 10 tahun yang lalu, serombongan keluarga datang. Aku, ayah dan ibu kaget bukan kepalang. Kami tidak mengira akan ada yang datang membawa sepasukan orang dengan berderet mobil yang tiba-tiba sudah rapi parkir di depan rumah. Dua hari sebelumnya Yudhis memang meneleponku. Katanya ia akan ke rumahku Ahad ini. Tapi, siapa yang mengira seperti ini. Kupikir ia sekedar silaturahmi atau ada kepentingan tertentu. Dengan sedikit basa-basi, orang tua Yudhis menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamarku. Ditodong begini aku tak sanggup berkutik. Bunga-bunga di taman hatiku pun semerbak, setelah sekian lama dipendam kini bermekaran. Ayah, ibu dan keluarga semua menyukai Yudhis. Tentu saja! Apa lagi yang kurang dari seorang Yudhis? Tampan, pandai, kaya, dan sholeh. Ayah Yudhis juga pengusaha sukses, walau kalibernya sedikit di bawah Om Rono. Yudhis adalah sosok sempurna yang berwujud nyata. Membuat bangga bagi yang menggandengnya. Menyenangkan diajak ngobrol. Tidak memalukan bagi orangtua yang menjadikannya menantu. Dan pasti akan jadi suami yang bisa membimbingku, bisa mengerti aku, dan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Siapalah yang sanggup menolak Yudhis? Terlihat orangtuaku langsung jatuh hati pada Yudhis. Tapi ayah tetap menyerahkan keputusan padaku, karena akulah yang akan menjalani pernikahan. Aku diam ketika ditanya. "Arni diam saja, berarti iya. Begitu kan Pak Margono?" ujar ayah Yudhis. Ayah mengangguk-angguk saja. "Maaf," aku berpaling ke arah Yudhis, "belum bisa langsung menjawab ya atau tidak. Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkan dan sholat istikharah." "Oh monggo, silahkan saja. Kalau Arni butuh waktu, sampaikan saja kira-kira berapa lama akan mempertimbangkan lamaran ini dan kapan akan memberikan jawaban. Tapi jangan lama-lama. Kasian Yudhis lho...!" ayah Yudhis menjawab sambil berseloroh. Aku diam saja, bingung mau menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk mengambil keputusan terpenting dalam hidupku ini. "Begini saja Mas, kita sama-sama berdoa saja semoga semua dimudahkan oleh Allah SWT. Nanti kalau Arni sudah bisa memutuskan, saya yang akan menghubungi Mas Permadi. Bagaimana Mas?" kata ayah. Ayah Yudhis melirik ke arah Yudhis. Yudhis mengangguk pelan. "Baiklah Pak Margono, kalau memang begitu. Yah, memang sebaiknya hal-hal seperti pernikahan ini tidak terburu-buru menjawabnya. Kami memang tidak mengharapkan ada jawaban saat ini juga. Paling tidak kita sudah silaturahmi, nambah saudara. Kami juga ingin mengenal Arni lebih dekat, juga Bapak dan Ibu sekeluarga. Karena, terus terang kami juga kaget. Yudhis ini nggak ada angin nggak ada hujan, tahu-tahu minta saya dan mamanya untuk melamar. Padahal saya nggak pernah lihat Yudhis itu pacaran. Lha ini anak mau nikah sama siapa tho? Paling tidak kan calonnya mesti dikenalkan dulu, diajak main ke rumah. Bergaul sama keluarga besar. Dilihat bibit, bebet, bobot. Dan itu kan nggak langsung ujug-ujug begini, pakai waktu. Tapi Yudhis ngotot, katanya sistemnya bukan begitu, nggak ada pacaran-pacaran. Ya sudah akhirnya kami berembug dengan keluarga untuk datang hari ini. Kami ini hanya mendapatkan sedikit gambaran tentang Arni dan keluarga dari Yudhis. Jadi kami senang sekali bisa berkenalan dengan Bapak sekeluaga. Kami minta maaf kalau kedatangan kami merepotkan." "Wah nggak kok Mas, sama sekali tidak merepotkan. Lha malah seneng kok dikunjungi sekeluarga besar begini." Ayah tersenyum menanggapi penuturan ayah Yudhis yang panjang dan lebar. "Kami harap Yudhis bersedia menunggu jawaban dari Arni. Dan kami mohon apapun jawabannya nanti tidak membuat rasa tidak enak diantara kita semua. Mudah-mudahan masih bisa terus bersilaturahmi ya Mas...!" Malamnya kuceritakan kedatangan Yudhis sekeluarga kepada sahabatku yang juga satu kuliah dengan aku dan Yudhis dulu. Menurutnya, dari informasi yang bisa dipercaya, Yudhis memang sudah menyukaiku sejak kuliah. Oh, itukah sebabnya ia selalu memilihku menjadi sekretaris? Katanya, ketika kabar aku akan dilamar oleh Bram sampai ke telinganya, Yudhis kalang kabut. Dan akhirnya tanpa ba bi bu ia langsung datang melamar. Akhirnya, Yudhis berhasil membawaku ke pelaminan. Betapa bangganya aku bersanding dengannya. Sang aktivis yang didamba banyak gadis. Dan kenyataannya akulah yang mendapatkannya, setelah menyingkirkan banyak saingan di hati Yudhis. Kudapati tatapan mata cemburu dan iri dari beberapa teman dan adik kelas yang kutahu pernah menyukai Yudhis, saat mereka datang ke resepsi pernikahan kami. Hari-hari kami selanjutnya tentulah sangat indah. Bak lapis legit yang manisnya selalu ada di setiap gigitan. Tak ada duka. Tak ada lagi gelisah, gundah. Semua yang ada hanyalah bahagia dan bahagia. Lalu cinta kami berbuah. Lahir Ghazali, lalu Sabila. Semuanya menambah manisnya cinta kami. Di awal pernikahan kami, aku dan Yudhis tetap aktif di dalam kegiatan dakwah dan sosial. Hampir setiap malam kami habiskan dengan tahajud berjamaah. ***** Kini air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku terisak tak bersuara. Memandangi wajah tampan yang tetap terlelap tenang. Ramadhan yang lalu, tidak lagi kami lewati dengan penuh syahdu. Tak ada tarawih bersama. Tak ada tilawah bersama anak-anak. Jika dihitung, Yudhis hanya sempat 3 kali berbuka puasa di rumah. Sisa yang 27 hari entah berbuka puasa di mana. Ia selalu pulang malam, bahkan Subuh sekalian, setelah orang-orang selesai bersahur. Beberapa tahun yang lalu, Yudhis sibuk, aku pun sibuk. Sebagai dokter spesialis jantung, Yudhis tergolong dokter muda yang cukup laris. Aku sibuk mengurus anak, rumah, dan praktek di puskesmas. Kesibukan kami membuat tak lagi aktif dan terikat dengan kegiatan dakwah yang sebelumnya kami geluti. Tali temali yang selama ini membentengi, satu persatu mulai putus. Di awal karirnya, Yudhis sering bercerita ia beberapa kali terlewat waktu sholat kalau sedang ada operasi yang memakan waktu berjam-jam, dari satu waktu sholat ke waktu sholat yang lain. Aku selalu mengingatkan agar ia selalu sholat tepat waktu. "Kalau lagi operasi mana bisa ditinggal," kata Yudhis saat aku menegurnya. "Masa untuk sholat nggak bisa ditinggal sebentar saja?" kataku. "Kamu kayak nggak ngerti saja. Kalau ditinggal bisa-bisa pasiennya meninggal. Nanti keluarga pasien menuntut dan menuduh malpraktek. Yah, ini kan darurat, nggak apa-apa kan?" kata Yudhis enteng. Awalnya ia menganggap darurat, tapi kali kesekian saat tidak ada darurat, ia semakin menganggapnya enteng. Aku heran dengan sikapnya yang sangat mudah menggampangkan sholat. Entah kapan dan bagaimana mulainya, Yudhis mulai sering pulang malam di luar jadwal rumah sakit. Namun, aku percaya penuh padanya. Dan sebagai istri yang baik aku berusaha untuk tak banyak bertanya yang macam-macam. Yudhis mulai mempunyai komunitas tersendiri dalam lingkungannya. Komunitas yang sangat berbeda dengan komunitas kami semasa kuliah dulu. Ibadah kami sangat garing. Yudhis malas mengimamiku. Kalau ia capek, aku disuruh sholat sendirian. Apalagi Qiyamullail, sudah lama sekali kami tinggalkan. Capek! Begitu selalu alasannya. Hubungan di tempat tidur juga terkena imbasnya. Segala-galanya jadi kering, tanpa ruh. Menjalaninya bagai rutinitas dan kewajiban semata. Buah cinta kami mulai besar dan mulai nakal. Aku sering kewalahan menghadapinya sendirian. Kalau aku bicara pada Yudhis, jawabnya, "Lho itu tanggung jawabmu sebagai ibu. Kamu bisa mendidik anak nggak sih? Tugasku itu cari uang!" Ia pasti lupa isi khutbah nikah di pernikahan kami dulu. "Mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, baik ibu maupun bapak. Ayah yang menjadi imam harus bisa menjadi nahkoda yang baik bagi biduk rumah tangganya. Dasar-dasar pendidikan itu harus berdasarkan arahan sang ayah." Kadangkala aku bisa sabar menghadapi Yudhis, tapi kadang pula kami bertengkar hebat. Yudhis semakin sering pulang diatas jam 1 pagi. Kalau kutelepon ke rumas sakit, dijawab kalau Yudhis sudah pulang dan tidak ada jadwal yang mengharuskannya pulang pagi. Walau begitu aku tetap berkata pada diriku sendiri, everything runs smooth, everything is ok. Jam berapa pun ia pulang, aku tetap berusaha melayaninya. Mulai dari membuatkannya teh, kopi atau susu panas. Atau menyiapkan air panas kalau ia ingin mandi. Secapek apapun aku, kuusahakan sekuat tenaga untuk menyambut kedatangannya dengan senyum. Yudhislah yang biasa pulang dengan wajah kusut masai dan mata merah. Tanpa senyum. Hanya perintah yang keluar dari bibir merahnya. Kadang-kadang ia bersikap manis. Tapi itu hanya jika ia ingin melampiaskan hasratnya padaku. Aku bukanlah seorang istri yang mau dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Tugas seorang istri berusaha kutunaikan dengan baik. Malam-malam panjang, ketika menanti Yudhis pulang, sering kuisi dengan sholat tahajud. Aku memohon agak Allah membuka kembali hati Yudhis dan memberikan takdir yang baik bagi kami sekeluarga. "Arni, aku ada berita nih! Tapi kamu jangan kaget ya. Kamu percaya kan sama aku? Ini tentang Yudhis," suara Toni, sepupuku, terdengar di HPku. Aku mengangguk walau tahu ia tak akan melihat anggukanku. "Aku beberapa kali ini melihat suamimu. Pertama kali aku lihat dia lagi makan siang sama perempuan yang rambutnya dicat kemerahan di Chopstix Pondok Indah Mall. Nggak jauh kan dari tempat suamimu praktek." Toni melanjutkan, "Bukan cuma itu, aku pernah nguntit suamimu itu ke beberapa tempat. Afterhour, D'S Place, Barbados." "Oh ya?" kataku datar. "Kamu kok nggak kaget?" tanya Toni. "Kaget? Memang kenapa?" tanyaku bingung. "Arni! Itu tuh tempat dugem, tau nggak?" jawab Toni. "Du...gem?" "Itu lho dunia gemerlap. Afterhour itu bar dan tempat billiard. Yang dua lagi yah semacam itu, sama saja. Aku lihat Yudhis sama cewek dengan mata kepala sendiri. Percaya deh, dia minum minuman, turun ke floor, peluk-pelukan sama cewek sok bule itu." Nada suara Toni berapi-api penuh emosi. Aku tak percaya, gumam bathinku. Tapi tak urung, tangan ini gemetar memegang HP. "Kamu salah orang mungkin Ton. Orang yang mirip Yudhis." "Salah orang bagaimana. Jelas banget gitu kok! Aku ngeliat dia sekitar jam 1 malem lewat. Dia sering nggak ada di rumah nggak kalau jam-jam segitu?" Aku tersentak. Ya, Yudhis memang sering pulang pagi, dan ia nyata-nyata tidak sedang tugas di rumah sakit. Tapi...main billiard, minum, berpelukan dengan perempuan...? Rasanya sulit hati ini mempercayainya. Hari ini, baru saja, semua pertanyaan yang bergumul di hatiku dan segala hal yeng menjadi rahasia selama ini terkuak lebar. Yudhis berkata jujur padaku bahwa ia mencintai perempuan lain, ingin bercerai dariku dan akan menikahi perempuan itu. DUARRRRRRR!!!!!! Bagai disambar geledek rasanya jantungku. Aku limbung. "Baru kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Maaf, sejak dulu aku tak pernah merasa mencintai kamu Arni. Aku mau ceraikan kamu!" Bibir itu berkata dingin, seolah tak sedang berbicara dengan istri yang telah mendampinginya sepuluh tahun ini. Bagaimana mungkin ia mengaku tak mencintaiku. Semuanya begitu manis. Aku tak percaya ia berkata begitu. "Yudhis, sadarkah apa yang baru saja kamu katakan? Kamu baru saja menjatuhkan talak!" "Memang begitulah mauku. Akhir-akhir ini aku merasa begitu hidup. Bergairah dan penuh cinta. Aku merasa bahagia dengan Meta. Kita urus perceraian secepatnya. Besok kita ke Pengadilan Agama." Kata-katanya dingin menusuk. "Sore nanti aku akan pindah. Sekarang aku mau numpang tidur sebentar. Di sofa di luar sini juga nggak apa-apa. Aku capek!" "Mas, apa benar kamu sering ke tempat-tempat dugem?" aku memberanikan diri bertanya. "Hahhhh?! Dari mana kamu tahu?" teriak Yudhis. "Toni. Dia bilang beberapa kali lihat kamu. Sedang bersama perempuan dan minum-minum." "Hmmm, jadi selama ini kamu kirim sepupumu itu jadi mata-mata heh?! Betul. Si Toni nggak salah lihat. Ohhh...pantas saja aku merasa pernah lihat dia." "Ngapain sih Mas kamu ke tempat-tempat seperti itu?" aku bertanya sambil menahan tangisku yang hampir saja meledak. "Ah kamu tahu apa tentang tempat seperti itu. Aku merasa senang di sana. Dan apa pula urusanmu. Kita sudah cerai, kamu nggak berhak turut campur lagi. Ini hidupku tahu?!" "Masya Allah Mas, istighfar Mas, istighfar...kamu lagi lupa diri Mas! Cepatlah bertobat" "Hhhahhhhhhh...SUDAH DIAM!!!!" bentak Yudhis kasar sambil menghempaskan tubuhnya di sofa empuk yang terletak di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian dengkur halusnya terdengar. Begitu Yudhis terpejam tangisku tumpah ruah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya Yudhis akan jadi seperti ini. Sang manusia sempurna bagi sebagian orang yang mengenalnya. Yudhis, yang semasa muda tak pernah mengenal tempat-tempat seperti itu. Yudhis, yang dulunya selalu membasahi bibirnya dengan berzikir. Yudhis, yang selalu menjaga wudhu, tak mau bersentuhan dengan wanita selain mahramnya. Yudhis, yang dulu lingkungannya selalu orang-orang yang baik. Tapi sekarang??? Ketika lingkungan berubah, ia pun berubah. Menjadi manusia yang 180 derajat berpindah ke sisi lain dunia. Siapa yang akan mengira. Aku menangis, membenamkan wajahku ke bantal. Ghazali memelukku dari belakang. "Mama, kenapa nangis?" "Nggak kok sayang. Nggak papa," aku mengusap air mata yang berurai. Ya Allah, lalu bagaimana nasib Ghazali dan Sabila tanpa ayahnya. Aku tak sangup lagi berpikir. Di atas sajadah, aku mengadu kepada Rabbku yang Maha Mendengar hambanya yang tengah kesusahan. Aku pun sadar tidak seluruhnya adalah kesalahan Yudhis, pasti aku ada mempunyai andil. Aku terlalu mencintainya, memujanya. Bahkan cintaku padanya mungkin melebihi cintaku pada Allah. Mungkin ini teguran Allah bagiku, yang sering lupa padaNya. Yang menjadikan kecintaanku pada mahluk melebihi segala-galanya. Satu episode hidupku telah berusaha kulalui dengan tetap berada di jalanNya. Dahulu, aku memutuskan menikah dengan Yudhis berdasarkan istikharah. Pada waktu itu aku ridho dengan agamanya. Sebagaimana pesan Baginda Rasulullah SAW agar tidak menolak pinangan laki-laki yang agamanya baik. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi. Dengan berbagai pertimbangan itu aku menerima lamaran Yudhis. Jadi salahkah aku kalau semuanya berakhir seperti ini? Tiada kesempurnaan bagi seorang manusia. Allahlah yang Maha Membolak-balik hati manusia. Salahkulah yang mengharapkan kesempurnaan dari Yudhis, yang menganggap ia adalah segala-galanya tak bercacat. Padahal setiap orang tak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya. Aku masih hidup dan bernafas. Ini bukan akhir hidupku. Aku yakin Allah pasti punya rencana yang lebih baik di balik semua ujian yang diberikannya. Kekalutan dan ketakutanku perlahan sirna. Aku tak perlu khawatir dengan hidupku, hidup anak-anakku kelak. Allah-lah yang menjamin hidupku. Dia tak akan menelantarkan hambaNya. Inilah takdir yang telah ditetapkan olehNya. Dan ini pasti yang terbaik bagi kami semua. Semoga saja Allah membukakan kembali hati Yudhis yang telah kelam dan mengembalikannya kepada kehidupan yang dulu. Kupandangi lagi wajah tampan di seberang aku duduk saat ini. Nanti sore ia akan pergi dari rumah ini, pindah ke apartemen Meta, perempuan yang sering bersamanya di tempat dugem. Dan esoknya, kami akan ke Pengadilan Agama, mengurus perceraian. Tangisku tetap ada, jiwaku tetap remuk redam, tapi hatiku terhibur olehNya. Satu episode hidup telah kulalui. Ketika cinta harus usai maka hidup harus terus berlanjut. Hati kecilku bertanya, kepada siapakah sebenarnya cintaku kupersembahkan? Kepada Yudhis ataukah Allah. Cinta sesungguhnya tak pernah usai. Kuusap lelehan tangisku. Episode lain telah menunggu untuk disusuri.

Komentar