psikologi agama

ly < Prev Message | Next Message >
Psikologi Agama

Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak
dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan
yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek
dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan
keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain.
Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena
agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi
sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa,
bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan
sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau
perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk
suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati
(istisyhad) demi keyakinan.

Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu
bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan,
karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu,
akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski
mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani
mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu
menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa
hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan
dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati,
ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima
dengan logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik
menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya
akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang
dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat,
sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan.
Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di
depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar
tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh
seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara
Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The
Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).

Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari
dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan
membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya.
Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas;
dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,
dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan
kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang
menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama
(misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami
agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama
yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama
tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa,
kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya
diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul
mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn
Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga
lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang
baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang
baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in
istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).

Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba
menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi
keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai
oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar
Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung
kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab
Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi
mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar
perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah
mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang
manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan
itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru
atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.

Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar
hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias
culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk
menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi
Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin
Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi'ah tidak tercover oleh
Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa
makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan
seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni
psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk
meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika
menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.

Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya
menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian
tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku,
tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh
karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu
Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan
pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan
kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term
Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada
dalam al Qur'an akan lebih memudahkan menangkap realitas
keberagamaan seorang muslim.

Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of
Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut
Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic
features of religion) sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas,
merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan
gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya
dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan
dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.

Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu
sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki
keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang
sangat rational, ada yang tradisional, ada yang "fundamentalis" dan
ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang
konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan
sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli
ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang
yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh,
sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara
memadai.

Komentar