Membimbing Agama dengan Psikologi

Minggu, 14 September 2003
Membimbing Agama dengan Psikologi

Khazanah intelektualisme Indonesia kembali diperkaya dengan hadirnya buku yang
tergolong langka dalam dunia perbukuan kontemporer. Buku itu tak lain Psikologi
Agama; Sebuah Pengantar. Dikatakan langka lantaran dalam konteks psikologi yang
berkaitan dengan agama, buku-buku sejenis itu relatif sangat sedikit.

Karena itu, Penerbit Mizan merasa perlu menerbitkan karya cendekiawan Dr KH
Jalaluddin Rakhmat. Tidak seperti mayoritas buku yang terbit dan kebanyakan dari
kumpulan tulisan, Kang Jalal, demikian ia karib disapa, khusus memperuntukkan
karya tulisnya itu untuk buku. Artinya, karya terbaru pimpinan Yayasan
Muthahhari Bandung ini memang murni untuk diterbitkan menjadi buku.

Akhir Agustus lalu, buku tersebut diluncurkan oleh Penerbitnya bekerjasama
dengan Yayasan Az-Zahra. Hadir sebagai pembicara para pakar di bidangnya, antara
lain psikolog Muslimah Prof Dr Zakiah Daradjat, Psikiater Sartono Mukaddis, dan
Rohaniawan Frans Magnis-Suseno, selain penulisnya, Kang Jalal. Dalam acara yang
diselingi musik nasyid Laron-laron Kecil gubahan Kang Jalal dan iringan tari
sufistik Darwis yang diperagakan oleh siswa-siswi SMU Muthahhari tersebut, para
pembicara sepakat, karya-karya psikologi agama seperti yang ditulis Kang Jalal
ini sangat penting dan dapat membantu bagi proses keberagamaan umat manusia.

Dalam buku ini, secara cemerlang Jalaluddin Rakhmat mampu menjelaskan fungsi
psikologi (atau secara umum ilmu psikologi) dalam kaitannya dengan agama-agama.
Misalnya saja Kang Jalal mengupas tentang makna agama secara psikologis. Secara
rasional, setiap individu mempunyai tafsir tersendiri tentang agama; fungsi,
peranan, termasuk makna agama itu sendiri. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan
dilema-dilema beda tafsir tersebut. Menurut Kang Jalal, agama, bagi sebagian
orang adalah kegiatan ritual, seperti shalat dan haji. Tapi sebagian lainnya
menilai, agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Ada pula yang
berargumen, agama tak lebih sebagai berperilaku baik saja. Ragam tafsir ini
timbul, menurut Kang Jalal, tak lepas dari kritik dari masing-masing individu
(hal. 9).

Definisi dan makna serta peran agama ini penting dijelaskan karena menyangkut
privat kehidupan umat manusia, terutama kehidupan sosial mereka. Bagaimana agama
dapat dijelaskan pada fungsi yang demikian dan secara lebih jauh lagi setelah
menemukan fungsi dan perannya? Kang Jalal perlu membahas hal ini lebih lanjut
karena ia menilai, agama di era modern saat ini tak bisa dilepaskan dari
eksistensi ilmu pengetahuan kontemporer. Untuk itu, Kang Jalal, seperti halnya
para ilmuwan lainnya, merasa perlu meletakkan agama di bawah pengamatan ilmu.

Pada titik inilah, diakui, terjadi dilema krusial, yakni bisakah ilmu
menganalisis agama? Bukankah keduanya, ilmu dan agama, merupakan entitas yang
berbeda? Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berkaitan dengan alam. Agama
diterima dengan iman, sementara ilmu dibenarkan dengan logika. Semua terkesan
serba dilematis. Tapi, menurut Jalaluddin, tetap ada optimisme. Terlebih bila
membaca ulang sejarah, bahwa ilmu dan agama ternyata juga tidak henti-hentinya
berinteraksi satu sama lain sepanjang sejarah umat manusia.

Lantas seperti apa dan bagaimana bentuk interaksi antara ilmu dan agama? Dengan
amat baik, Kang Jalal memaparkan hal itu di bagian dua buku ini. Pakar
komunikasi ini tidak menolak, bahwa di satu sisi agama dan ilmu kadang-kadang
saling memerangi. Namun di sisi lain, keduanya juga saling bekerjasama. Dalam
konteks ini, ia mengambil sampel dua tokoh-intelektual, yakni Brian Appleyard
yang menyatakan ilmu itu berkontradiksi dengan agama, dan Freeman Dyson, yang
menyebutkan ilmu dan agama sebagai dua jendela untuk melihat ke luar, untuk
memahami semesta luas di luar, serta untuk mengerti mengapa kita ada di sini.

Bagian yang paling inti tentu saja adalah interaksi antara psikologi dan agama
(bab tiga). Menurut Jalaluddin, bila psikologi sudah kehilangan jiwanya, maka
psikologi menyatakan perang pada agama. Sigmund Freud yang merasa berkewajiban
untuk menyembuhkan umat manusia dari "gangguan kejiwaan" yang bernama agama,
sebenarnya juga melepaskan psikologi dari induknya. Padahal, tulis Jalaluddin,
pada awalnya, psikologi adalah bagian dari filsafat. Lebih awal lagi, katanya,
psikologi adalah bagian dari agama. "Kisah" panjang interaksi inilah yang
kemudian diurai Jalaluddin untuk meletakkan ilmu dan agama pada posisi
proporsional, sembari membangun keduanya dalam satu mata rantai 'simbiosa
mutualisme', kerangka aksi yang saling menguntungkan. Sementara pada bab
keempat, Jalaluddin menjelaskan psikologi versus agama, dan pada bab terakhir
diuraikan tentang psikologi pro-agama.

Dalam pandangan psikolog Zakiyah Daradjat saat peluncuran buku ini, Kang Jalal
mampu menguraikan semua problem persentuhan antara psikologi dan agama dengan
sangat baik, dan bukan basa-basi. Dilihat dari konteks ini saja, kata Zakiyah,
keberanian Jalaluddin menulis bidang yang langka ini cukup mengagumkan.
Sayangnya, lanjut Zakiyah lagi, Kang Jalal kurang melengkapi referensinya dengan
rujukan-rujukan Islami. Terkait pentingnya psikologi bagi agama, Rohaniawan
Frans Magnis-Suseno menyatakan, psikologi bisa membantu orang memahami lebih
baik lagi tentang agama. Selain itu, jelasnya, "agama juga dapat dijadikan
medium untuk memahami psikologi. Jadi saling melengkapi."
hery sucipto/alumnus universitas al-azhar, mesir

Komentar