Agama, Pesantren dan Terorisme

Agama, Pesantren dan Terorisme
at 12:05 AM
Disampaikan dalam Workshop Nasional Pengasuh Pesantren, PBNU, 16 Januari 2010

Fenomena global telah berhasil membangun perspesi tentang adanya hubungan antara agama, pesan tren d an terorisme. Persepsi ini terbangun oleh adanya “fakta”2 empirik yang menghubungkan tiga hal tersebut, yaitu adanya kejadian terror, adanya symbol agama dan “orang pesantren”. Persepsi adalah pandangan orang tentang sesuatu, terlepas pandangan itu benar atau tidak. Adalah tugas kita meluruskan mispersepsi yang nampaknya secara sengaja dibangun secara sistemik oleh “kekuatan” luar biasa dari dunia global.

Pengertian Terorisme
Terorisme telah didefinisikan mengacu kepada ke¬pentingan pemberi definisi, sehinga ada definisi terorisme perpespktif penguasa, perspektif inteljen dan perspektif ilmu. Definisi terorisme perspektif penguasa antara lain: “Terrorism is premediated threat or use of violence by subnational groups or cladestine individuals intended to intimidate and coerce governments, to promote political, religius or ideological outcomes, and to inculcate fear among the public at large”2 ( yakni kekerasan yang dilakukan oleh pemberontak untuk menekan pemerintah berlatar belakang politik, agama atau ideology, untuk menyebarkan rasa takut kepada public)

Sedangkan FBI misalnya mendefinisikan sese¬orang menjadi teroris atau tidak bergantung kepada opini publik di Amerika, sebagai berikut: “The unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or to coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social goals”3

Adapun definisi yang lebih netral misalnya apa yang dikatakan oleh Ali A Mazrui dan Raymond Hamden. Menurut Ali A Mazrui, harus dibedakan antara teroris yang me¬ngerikan (horrific terrorism) yang membunuh manusia tak berdosa tanpa pandang bulu dengan bentuk terorisme yang dilakukan oleh para pejuang kemerdeka¬an (heroic terrorism) dalam menghadapi kekuatan pe¬nindas, atau bahkan negara adidaya penindas. “Terrorist” yang terakhir ini me-ngandung nuansa patriotic dan kepahlawanan.4 Sementara itu Raymond Hamden mem¬bedakan typology terorisme, dimana ada terorism yang dilatar¬belakangi oleh pan¬dangan politik, ideologi suatu agama, oleh pertarungan politik melawan pemerintah yang mapan, dan terorisme yang dilakukan oleh orang yang mengidap sakit mental.5

Meski mustahil menyatukan definisi terorisme, tetapi pada akhirnya yang diterima oleh oleh banyak orang adalah definisi yang dibuat oleh pemilik kekuasaan yang bisa memaksakan kehendaknya, baik kekuasaan politik, militer, ekonomi maupun teknologi.

Pasti tidak mudah ketika orang harus memahami cara berfikir Amerika yang memandang Arafat sebagai teroris, sementara Israel yang menjajah Palestina, pe¬langgar HAM dan pemilik senjata pemusnah massal dibela habis-habisan oleh Amerika. Terorisme tidak pernah dibahas akar masalahnya, tetapi dilihat dari kepentingan Amerika. Semua yang mengancam ke¬pen-tingan Amerika di cap sebagai teroris, dan sayangnya PBB tidak cukup kuat untuk menentang hegemoni Amerika. Akar terorisme adalah ketidak adilan. Dimana¬pun wilayah konflik dimana terjadi ketidakadilan yang menyolok, pasti akan muncul tindakan kekerasan. Palestina, Afganistan, Pilipina Selatan dan Irak sekarang adalah produsen kekerasan. Ditujukan kepada siapa? kepada pihak yang sangat kuat, yang me¬maksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah dengan du¬kungan kekuatan senjata, legalitas formal dan ekonomi. Jadi sebenarnya ada dua kelompok teroris.

1. Pertama, Teroris kuat, dalam hal ini negara besar (kuat), yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak untuk menghancurkan lawan, dimanapun berada. Amerika (di Afgan dan Irak) dan Israel (di Palestin) serta Uni Sovyet (ketika men¬jajah Afganistan) dalam perspektip ini adalah negara teroris, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara, lounching by state.

2. Kedua, Teroris Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa berhak untuk mem¬bela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki.

Jadi peperangan teror dan anti teror dewasa ini se¬benar¬nya merupakan peperangan antara dua teroris, pertama teroris yang berusaha mempertahankan dominasi kekuasaanya (terutama ekonomi) di dunia, dan kedua, teroris yang dalam posisi terpojok dan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya merasa harus mempertahan¬kan eksistensinya dengan segala cara.

Internasionalisasi Terorisme

Ada dua hal yang menjadi titik internasionalisasi “terrorisme”, dewasa ini yaitu sosok Usamah bin Laden dan Afganistan atau Peshawar.

1. Sesungguhnya kasus Usamah bin Laden lebih meru¬pakan limbah politik dalam negeri Saudi Arabia. Usamah sebagai seorang muslim dan nasionalis Saudi bersama dengan 50 orang ulama/cendekiawan Saudi, protes keras terhadap kerajaan atas kehadiran tentara Amerika di bumi kota suci Makkah Madinah. Kerajaan Saudi bukan saja tidak menghormati aspi¬rasi Usamah dan 50 tokoh Saudi lainnya, tetapi lebih suka me¬nunjukkan komitmen kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Usamah terusir dari tanah kelahiran¬nya dan akhirnya ia menjadikan seluruh negeri Islam sebagai tanah airnya. Ia pernah di Sudan, kemudian menetap di Afghan, sekarang kemungkinan besar sudah gugur tetapi tetap “dipelihara” kemunculannya guna me¬ngawal “proyek” perang melawan terorisme global.

2. Ketika Uni Sovyet menduduki Afganistan, Amerika sangat berkepentingan untuk mengusirnya. Dalam upaya mengusir tentara Komunis itu Amerika mem¬bantu, melatih dan mempersenjatai Mujahidin Afghan. Invasi negara Komunis ke bumi Afghanistan sangat menyentuh panggilan jihad kaum muslimin dari se¬luruh dunia. Amerika merasa menemukan potensi yang dapat digunakan sebagai kekuatan pengganggu Uni Sovyet, maka Amerika menfasilitasi partisipasi mujahidin non Afghan yang datang dari seluruh pen-juru negeri Islam, termasuk dari Indonesia di Peshawar Pakistan. Peshawar kemudian menjelma menjadi semacam kampus yang mempertemukan aspirasi garis keras dari seluruh dunia Islam. Di situ mererka dilatih oleh CIA (Amerika), M 16 (Inggris), ISI (Pakistan), dan didanai oleh Saudi Arabia. Nah ketika Uni Sovyet telah ber¬hasil diusir dari bumi Afghanistan tanpa disadari telah lahir veteran perang (mujahidin) terlatih yang jumlahnya sangat besar, menurut sumber terpercaya, allumini Peshawar berjumlah hingga seratus ribu mujahidin. Pengalaman keberhasilan Mujahidin mengusir tentara super power Uni Sovyet melahirkan konsep diri positif, yakni merasa sanggup mengatasi masalah seberat apapun dengan jihad. Oleh karena itu gelombang veteran perang Afghanpun mengalir ke Bosnia bahkan ke Chehnya, Daghestan dan Moro, juga Poso dan Ambon. Pokok¬nya dimana¬pun terjadi penindasan terhadap kaum muslimin, para mujahidin itu siap untuk jihad dan syahid. Ketika para pahlawan perang yang tangguh itu kemudian tidak lagi menemukan medan jihad, maka sebagian besar kem¬bali ke habitatnya sebagai orang biasa, ada petani, pedagang dan guru agama, tetapi ada juga yang mengalami problem psikologis seperti veteran perang Vietnam di Amerika. Hambali, Imam Samudera, “Amrozi” dan yang lain-lain yang jumlahnya cukup banyak adalah orang desa (lokal) yang masuk pusaran global. Mereka tinggal di desa kecil, tetapi jiwanya mudah terguncang ketika melihat arogansi Amerika yang selalu menggunakan standar ganda. Mereka bukanlah terrorist seperti yang di stigmakan oleh publik opini media Barat, tetapi mereka adalah pejuang ideologis yang sedang membutuhkan tempat berpijak yang tepat. Oleh karena itu memperlakukan kelompok itu secara “gebyah uyah” dengan menggunakan pa¬radigma perang melawan terorisme international seperti yang dikumandangkan oleh presiden Bush, bukan saja tidak efektif, tetapi akan membangkitkan kembali jiwa perang veteran yang sudah tenang di habitat asalnya.

Laporan Badan Penasehat Pentagon, Defence Science Board yang bertajuk Strategic Communication sebagaimana dikutip situs BBC (Kamis 25-11-2004) secara terbuka menyalahkan perang melawan terorisme yang justeru melebarkan jaringan terorisme terhadap Amerika, karena diplomasi publik oleh AS soal demokrasi ke dunia Islam tak lebih sebagai kepura-puraan semata. Tindakan AS terhadap dunia Islam, kata laporan tersebut didorong oleh motif tersembunyi dan secara sengaja dikendalikan demi memenuhi kepentingan nasional AS dengan me¬ngorbankan dunia Islam.

Agama dan Aspirasi Garis Keras
Aspirasi garis keras muncul di kalangan ummat Islam pada umumnya merupakan respon yang kurang tepat terhadap ketidak adilan yang dialami. Pada umumnya mereka tidak bisa membedakan antara kebudayaan dan agama, padahal Islam memandang; pada dasarnya semua kebudayaan bersifat mubah sepanjang tidak mengandung elemen-elemen haram (al aslu fil‘adat wal mu‘amalat al ibahah hatta yakun dalil fi buthlanihi). Kebudayaan adalah konsep, oleh karena itu wujud suatu perilaku harus dilihat apa konsepnya, baru dapat ditetapkan nilainya. Kita pernah berjumpa dengan kelompok yang mengharamkan penghor¬matan kepada bendera dalam upacara apel bendera, juga kelompok yang menolak memiliki KTP dan surat2 lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan alasan hanya perintah Tuhan yang harus dipatuhi. Kita juga pernah menjumpai fenomena ada kelompok yang tidak mau menghormati ayah ibunya dengan argumen meskipun orang tua tetapi mereka tidak masuk golongan kita. Pernah juga ada organisasi yang memilih mati membubarkan diri daripada menerima azas Pancasila.

Nah itu semuanya sebenarnya adalah wilayah ke¬budayaan, bukan wilayah agama. Panca Sila bukan agama tetapi kebudayaan, bendera adalah simbol, bukan benda suci. Partai politik, meski berazas agama sekalipun adalah kebudayaan, bukan agama. Demikian juga ordo-ordo tarekat tasauf adalah juga kebudayaan, bukan agama. Pen¬campuradukan agama dan kebudayaan itu terjadi karena adanya sikap fanatik.

Pengertian fanatik

Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence)
Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;

(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
(b) dalam berfikir dan memutuskan,
(c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
(d) dalam merasa.

Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk:

(a) fanatik warna kulit,
(b) fanatik etnik/kesukuan, dan
(c) fanatik klas sosial.

Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha per¬lawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas). Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik seperti :

1. Fanatisme kulit hitam (negro)
2. Fanatisme anti Yahudi
3. Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
4. Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Pesantren di Indonesia
Siapa yang menyangka bahwa model pesantren pertama itu berasal dari Yunani. Dulu pada masa Socrateds, orang yang belajar filsafat tinggal di asrama yang diberi nama Pondokheyon. Ketika budaya Yunani runtuh dan diteruskan oleh dunia Islam, penginapan untuk musafir thalibul `ilmi disebut funduq, dari kata pondokheyon. Ketika zaman al Gazali, asrama mahasiswa disebut haniqah. Di asrama thullab di Afrika utara disebut ribath, dari kata min ribath al khoil, karena mahasiswa juga sekaliggus sebagai mujahid. Ketika para wali sampai ke Jawa, ditemukan padepokan Hindhu yang yang bernama pecantrikan dimana penghuninya adalah shastri (guru) dan cantrik (murid). Para wali mengadopsi system ini untuk mendirikan lembaga pendidikan, yakni asrama yang dihuni guru dan murid, gurunya disebut kyai, dan muridnya disebut cantrik. Kata cantrik lama-lama bergeser menjadi santri, dan kata pecantrikan menjadi pesantren. Untuk lebih sempurnanya, maka kata funduq dilekatkan menjadi fondok pesantren.

Pesantren dulu dan sekarang
Sebelum sistem pendidikan sekolah masuk ke Nusantara, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pendidikan yang disebut Pesantren. Pesantren pada mulanya bersifat elit, santrinya terdiri dari anak-anak orang kaya, dan keluarga kerajaan. Calon raja dari kerajaan Jawa Islam pada umumnya terlebih dahulu disekolahkan di Pesantren. Sistem pendidikan Pesantren zaman dahulu berpusat kepada figur seorang ulama; biasanya disebut Kyai. Sosok seorang kyai pengasuh pesantren pada masa awal mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya pengalaman, darah biru, kaya dan “sakti”. Oleh karena itulah maka kedudukan kyai sebagai sentral sistem menjadi sangat efektif. Santri ada yang bermotif mencari ilmu (thabul `ilmi), ada yang lebih didorong untuk mencari “ngelmu” olah kanuragan dan ada juga yang lebih bermotif “ngalap berkah” atau tabarrukan. Karena elit, maka santri merupakan simbol sosial, dihormati dan diperebutkan calon mertua. Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren kuno lebih pada mendidik santri agar menjadi “insan kamil”dan sama sekali belum menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai “kurikulum” dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klassik, ditentu¬kan oleh klassifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasauf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasauf, begitu seterusnya. Prin¬sip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar dari cabang keilmuan tersebut.

Lokasi Pesantren pada mulanya berada di dekat pusat kekuasaan. Seandainya tidak terjadi sejarah kolonialisme yang berkepanjangan di Indonesia, maka Pesantren itulah yang menjelma menjadi Universitas, seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya merupakan “pesantren” gereja. Penjajahan Barat yang terlalu lama, mengubah peta dimana pesantren justru berada di kampung-kampung, jauh dari pusat kekuasaan (penjajah), karena para kyai secara konsisten melakukan konfrontasi budaya dengan penjajah kafir.

Ketika Indonesia merdeka, masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfontasi dengan budaya Barat. Penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pe-merintahan RI yang belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan (termasuk sistem pendidikan), memper¬panjang masa konfrontasi budaya tersebut, sehingga pesantren tidak berusaha masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, tidak tercantum dalam GBHN dan tidak nampak dalam APBN. Sistem madrasah, apalagi madrasah diniyyah juga hanya diakui setengah hati oleh sistem nasional, yang implikasinya nampak pada perbedaan anggaran negara yang sangat “jomplang”. Tersisihnya pesantren dan madrasah dari sistem pendidikan nasional nampaknya bersumber dari dua pihak sekaligus. Pertama ; sebagian “kaum muslimin” secara budaya masih memandang sekolah umum sebagai sekolah kafir warisan penjajah dan tidak mendatangkan pahala. Kedua; ada oknum dalam elit pemerintahan kita yang secara sadar berusaha menghambat kemajuan masyarakat pesantren dan madrasah.

Pesantren Zaman Orba

Bersamaan dengan dinamika politik dimana Golkar membutuhkan dukungan masyarakat Pesantren, mulailah terjadi interaksi sosial dimana Pemerintah sedikit menaruh perhatian kepada dunia pesantren, dan dari kalangan pesantren sendiri muncul kaum intelektual santri yang secara sadar berusaha meningkatkan kualitas pesantren sekaligus berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara. Bermula datang gagasan untuk mengajarkan ketrampilan di pesantren, misalnya peternakan ayam, kemudian datang lagi SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri, yang menyetarakan Madrasah dengan SLP/SLA. Dinamika ini juga nampak pada sikap IAIN terhadap pesantren. Sekitar tahun 60-70, pesantren memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memasok calon mahasiswa IAIN. Tetapi, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem pendidikan nasional, IAIN menolak alumni pesantren Gontor misal¬nya, hanya karena ijazah Gontor tidak diakui Pemerintah, padahal untuk menjadi mahasiswa IAIN, kualitas allumnus Pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Mentri.
Pesantren Sekarang

Sekarang tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafi. Kedua Pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga Pesantren yang sebenar¬nya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam. Keempat pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Disamping itu ada pesantren yang bersifat khusus, misalnya pesantren tahfidz al qur’an.

Bagaimanapun bentuknya, meski pesantren masih di¬tengok sebagai nostalgia, kelemahan kebanyakan pesantren dewasa ini justeru terletak pada lemahnya figur kyai, baik kelemahan keilmuan, “keanggunan kepribadian” maupun distorsi lingkungan.

Era reformasi dimana kegagalan sistem pendidikan nasio¬nal terungkap secara transparan mengusik kembali keunggulan pesantren sebagai sistem pendidikan. Sejalan dengan meningkat¬nya jum¬lah SDM santri, yakni allumnus pesantren yang dewasa ini telah ber¬gelar master , Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru sistem pendidikan pesantren sebagai pendidikan alter¬natif cukup tinggi. Optimisme terhadap pesantren justru sangat menonjol pada kelompok intelektual yang bukan alumnus pesantren. Terlepas dari subyektifitas pendapat, pada hemat kami, menengok sistem pesantren sebagai alter¬natif dari kegagalan sistem pendidikan nasional sebenarnya sangat wajar, dan relevan. Insya Allah.

Menghubungkan terorisme dengan pesan tren sangat tidak relefan, meski ada satu dua “teroris” yan g pernah belajar di pesantren, karena jiwa teroris itu bukan terbentuk di pesantren tetapi di luar pesantren dalam dunia konflik global

Komentar